Jumat, 28 Desember 2012

Cerpen : Takdir Persahabatan

     “Semuanya, kemarin kalian sudah mengakhiri masa MOS kalian. Sekarang waktunya, saya akan mengumumkan kelas-kelas kalian,”  teriak Kak Dion selaku ketua Osis di sekolah baruku ini.

     Lalu, kudengar namaku ada di deretan kelas X Sbi A. Aku menghela nafas lega. Setidaknya, aku mendapat kelas A yang notabene kelas unggul. Beberapa menit kemudian, Kak Dion selesai membacakan kelas-kelas kami. Aku pun melangkah riang ke arah kelas X Sbi A. Keberuntungan pertamaku dalam seminggu ini, aku dapat bersekolah di SMA Kharisma Jaya yang sangat terkenal ini. Keberuntungan kedua, mungkin Dewi Fortuna sedang berpihak kepadaku, aku mendapatkan kelas X Sbi A. Semoga saja, masih ada keberuntungan lain yang sedang menantiku. Hahaha.
     Sesampainya di kelas, aku langsung memilih bangku tepat di barisan kedua pada deretan tengah. Kulihat, di atas meja di sebelahku ada tas. Berarti, sudah ada yang menempati, pikirku. Aku duduk di sana sembari menunggu bel masuk berbunyi. Sebenarnya, aku lebih kepingin ke kantin atau sekedar berkeliling sekolah, tetapi, rasanya aku belum cukup berani. Karena, saat ini aku belum mempunyai teman. Selama 5 menit, aku hanya termenung di atas meja. Merasa bosan, akhirnya aku memilih membaca komik conan favoritku sepanjang masa (oke ini sedikit lebay!).
     Saat mulai membaca, aku merasa ada yang menghampiri tempat duduk di sebelahku. Tetapi, saking asyiknya membaca komik, aku tak memperdulikan orang di sampingku.

     “suka baca komik conan juga?” kurasa orang di sebelahku berbicara. Entah berbicara dengan siapa aku juga tak mau tau. Yang terpenting, aku harus menyelesaikan komik conan ini. Tetapi, setelah 3 menit berlalu, aku belum juga mendengar suara orang lain lagi atau suara dari lawan bicara orang di sebelahku ini. Setelah berkutat dengan pikiranku yang mulai tidak kosentrasi untuk membaca, akhirnya aku menoleh. Dan pada saat itu, aku melihat seseorang bidadari di hadapanku. Ya, menurutku seorang bidadari. Kulihat dia tersenyum manis ke arahku. Melihat itu, aku juga tersenyum. Ah, apakah benar dia bidadari? Cantiknya luar biasa, pikirku.
     “suka baca conan juga?” katanya seraya tersenyum. Ah, kenapa rasanya kalimat ini serasa familiar dalam 5 menit ini? Aku memandang ke arah komikku, lalu ke arah bidadari di depanku. Aku masih mengerutkan dahi bingung dengan perasaan familiar ini. Sedetik kemudian, barulah aku tersadar. “lo tadi ngomong sama gue ya?” tanyaku dengan polos.
     Bidadari itu tertawa. “ya iyalah, emang gue ngomong sama siapa lagi coba? Yang di depan gue kan elo,”
     Aku merasa sangat bodoh saat ini. “bukan, maksud gue, pertanyaan lo sekitar 5 menit yang lalu. Itu ngomong sama gue?” tanyaku salah tingkah dengan sikap bodoh ini.
     “hey, nama lo siapa sih? Gereget deh sama lo. Ya iyalah cantik, gue ngomong sama lo. Emang lo nggak nyadar ya? Kan, cuma elo yang lagi baca komik conan. Berarti elo yang gue tanyain. Coba lo bayangin, ada orang yang lagi baca buku fisika, tiba-tiba gue tanyain, 'suka baca conan juga?', kan nggak lucu!” cerocosnya membuat aku tertawa. Sepertinya, orang di depanku ini tipe yang asyik.
     “oh ya, kita belum berkenalan! Gue Reina,” seru bidadari di depanku –yang ternyata bernama Reina– yang terlihat antusias sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
     “Reisha,” jawabku seraya menyambut uluran tangannya. Sedetik kemudian, kami melepaskan jabatan tangan kami.
     “Reisha! Mulai hari ini kita temenan ya?” Ucap Reina antusias.
     Aku tersenyum simpul menanggapinya.
****
     “Reina, hari ini gue bawa makanan kesukaan lo!” ucapku seraya menunjukkan kotak bekalku ke arah Reisha.
     “woaa!! Stick Ayam? Lo yang masak?” seru Reina senang.
     “maunya sih gue jawab iya, tapi kenyataannya nggak. Seandainya aja gue bisa masak, udah gue jawab iya dengan anggukan kepala sambil tersenyum lebar, serta melompat-lompat riang,” cerocosku panjang lebar.
     “Hahaha,” tawa Reina. “nggak usah lebay deh,” kata Reina sambil menyikut lenganku.
     Aku tertawa menanggapinya. Reina pun ikut tertawa. Alhasil, kami berdua tertawa bersama. Bahkan, orang-orang di sekeliling kami mulai memperhatikan kami. Tetapi, kami tetap asyik dengan kebersamaan kami ini. Aku bersyukur bisa bertemu Reina. Sahabat tercintaku dan sahabat terbaik yang pernah dikirim Allah untukku.
****
     WEEKEND!! Yuhuuu! Hari ini, aku dan Reina rencananya mau jogging. Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun. Aku sholat subuh dulu. Barulah setelah itu, aku bersiap-siap untuk pergi jogging bareng Reina. 10 menit kemudian, Reina sampai di rumahku. Ya, rumah kami tidak terpaut terlalu jauh. Jadi, Reina bersedia menjemputku di rumahku.
     Kami berdua menyusuri jalanan hingga kami sampai ke pantai. Cukup jauh sih perjalanan kami. Tetapi, lagi-lagi jika kami berdua semua akan terasa asyik.
    “Sha, istirahat dulu yuk, capek nih,” ajak Reina saat kami telah sampai di pantai. Disana, kami bersenang-senang. Kami membeli es kelapa muda, pangsit, dan lain-lain. Pokoknya, perut kami udah serasa jadi warung makanan *LOL*.
    “Sha, gue ke toilet bentar ya,” pamit Reina. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Lalu, Reina pergi ke toilet umum yang ada di daerah pantai. Sudah 10 menit berlalu. Tetapi, Reina belum kembali juga. Aku mempunyai argumen bahwa toiletnya mungkin antre. 10 menit kemudian, Reina belum kembali juga. Aku mulai merasa was-was. Apa ada yang terjadi dengan Reina? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Kekhawatiranku semakin memuncak, kala 10 menit kemudian, Reina belum kembali juga. Sudah setengah jam ia pergi, tetapi, belum kembali-kembali. Akhirnya, aku membutuskan untuk menyusul Reina. Sesampainya di toilet umum, aku sama sekali tidak melihat batang hidung Reina. Aku memutuskan untuk bertanya dengan penjaga toilet yang sedang duduk di dekat pintu toilet.
     “Pak, numpang tanya, apa tadi ada cewek berjilbab merah, pake sweater hitam, pake training merah, terus kulitnya putih, hm, tingginya kira-kira 160 cm?” tanyaku kepada penjang toilet.
     Penjaga toilet itu tampak berpikir sebentar. Lalu, ia menjawab, “oh, ada Dek, kalau nggak salah, dia sudah pergi 15 menit yang lalu,” jawab penjaga toilet itu.
     Aku terkejut mendengar jawaban dari si penjaga toilet. Sudah pergi 15 menit yang lalu? “apa Bapak yakin kalau dia sudah pergi 15 menit yang lalu?”
     “hm, yakin Dek,” jawab penjaga toilet itu mantap.
     Aku semakin gusar mendengarnya. “kalau begitu, terima kasih Pak atas informasinya,” ucapku tulus.
     “sama-sama Dek,” balas penjaga toilet itu mantap.
     Saat aku menengok ke seberang jalan, aku melihat Reina sedang berbicara dengan seorang laki-laki dewasa atau layaknya seperti bapak. Aku menyipitkan mata saat Reina menganyunkan salah satu telapak tangannya ke arah Bapak itu seolah mengatakan sebuah penolakan. Aku semakin heran saat Reina melakukannya sekali lagi seolah sangat menegaskan penolakannya. Akhirnya, aku memutuskan untuk memanggilnya.
     “Reina!!” teriakku. Tetapi, karena suara-suara yang sangat ramai, menyebabkan Reina tidak mendengar teriakanku. Aku melakukannya sekali lagi. Lag-lagi, Reina tidak merespon. Akhirnya, aku menyebrangi jalan untuk menyusul Reina. Saat aku sedang menyebrangi jalan, tiba-tiba, sebuah motor melaju kencang ke arahku. Tabrakan tidak bisa dihindari. Aku merasa seolah tubuhku ditimpa beban yang sangat berat dan menyakitkan. Aku merasa tubuhku baru saja melayang. Rasa sakit menguasai tubuhku. Satu persatu, orang-orang mulai menghampiriku. Aku berusaha melihat ke sekeliling. Tetapi, mataku seolah berat untuk berfungsi. Akhirnya, aku menemukan sang bidadariku. Reina. Dia berteriak histeris dengan ekspresi sangat khawatir saat melihat keadaanku. Dan itu, hal terakhir yang kulihat dan kudengar. Karena, setelah itu, semuanya menjadi gelap.
****
     “Reisha, bangun, Sha!!” samar-samar aku mendengar suara Reina yang berkata seperti itu. Perlahan-lahan, mataku mulai berfungsi kembali. Walau masih sedikit kabur, tetapi, aku tau siapa yang sedang berada di hadapan mataku dan dimana aku berada.
     “Reisha, lo udah bangun?” tanya Reina senang. Aku hanya tersenyum mendengarnya. “DOKTER!! SUSTER!!” teriak Reina sambil menekan-nekan tombol  di alat untuk memanggil dokter ataupun suster. Rasanya aku kepingin tertawa melihat kelakuan Reina. Seharusnya, dia tidak usah teriak-teriak seperti itu jika sudah menekan tombol alat pemanggil suster atau dokter. Mungkin, karena terlalu cemas, Reina jadi bersikap seperti itu.
     Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Seorang dokter perempuan dan beberapa suster masuk ke dalam ruanganku. Mereka pun, memeriksa keadaanku. Setelah aku selesai diperiksa, mereka pun keluar. Badanku masih terasa sakit, apalagi bagian kepalaku, terasa sangat berdenyut. Seolah aku baru saja tertidur dalam waktu yang cukup lama. Tak lama kemudian, kedua orang tuaku datang.
     “Reisha sayang! Kamu nggak apa-apa?” teriak Mamaku yang langsung mendekatiku.
     Aku hanya tersenyum. Mamaku tak puas dengan responku. “jangan cuma senyum sayang! Bicara! Mama mau dengar suara anak Mama!” teriak Mamaku yang membuatku sangat yakin kalau Mamaku sangat sayang padaku.
     Akhirnya, sekuat tenaga aku berusaha untuk berbicara. “aku nggak apa-apa, Ma,”
     Seketika, mama, papa, dan Reina tersenyum senang mendengar aku akhirnya mengeluarkan suara.
****
     “Rei, lo nggak bosen apa jenguk gue selama 1 minggu? Tiap hari kesini melulu,” tanyaku kepada Reina.
     “bosen? Aduh Reisha Debyta Putri, ngapain bosen ngejenguk sahabat sendiri? Apa ada alasan yang logis untuk itu?” jawab Reina enteng.
     Aku tersenyum mendengarnya. “lo tuh emang sahabat gue yang paling baik sedunia,” pujiku senang.
     Seketika air muka Reina berubah keruh. “Sha, asal lo tau, gue bukan sahabat lo yang paling baik sedunia,” ucap Reina lirih.
     “hah?” hanya satu kata singkat itu yang keluar dari mulutku setelah mendegar ucapan Reina tadi.
     “gue  yang menyebabkan lo kecelakaan. Coba aja waktu kita di pantai, waktu gue balik dari toilet, gue sms ataupun telepon lo kalo gue ketemu dan mau ngobrol sama om gue. Jadinya kan, lo nggak bakal nyangka yang nggak-nggak waktu gue ngobrol sama om gue. Coba aja gue denger teriakan lo. Pasti, lo nggak bakal nyebrangin jalan, terus.....”
     “STOP!!” teriakku menghentikan ucapan Reina yang sangat tidak enak didengar. “Rei, semua itu bukan salah lo. Gue juga salah. Kenapa gue waktu itu nggak sms atau nelpon lo? Seandainya, waktu itu gue ngelakuin itu, pasti semua ini nggak bakal terjadi,” lanjutku.
     “Sha! Gue yang salah! Lo sama sekali nggak salah!” teriak Reina. “mulai detik ini, gue bakal menjauh dari lo. Gue nggak mau lo bakal bahaya lagi kalo masih ada gue di samping lo. Makasih atas semua kebaikan yang pernah lo berikan. Dan maaf gue udah ngerusak dan ngeganggu hidup lo. Bye, Reisha,” lanjut Reina lirih. Lalu, ia pergi menuju pintu.
     “REINA!! JANGAN PERGI REI!” teriakku berusaha mencegah kepergian Reina. Aku hanya bisa teriak. Karena, saat ini tubuhku belum kuat untuk berjalan. Reina pun terus melaju keluar. Tanpa memperdulikan aku yang rapuh sekarang.
****
     Sudah 2 minggu aku berada di rumah sakit. Sudah 1 minggu berlalu saat Reina memutuskan untuk pergi meninggalkan aku. Aku sangat sedih mengingatnya. Aku jadi benci tempat ini. Rumah Sakit! Aku benci rumah sakit! Karena, di tempat inilah aku harus berpisah dengan Reina. Akhirnya, hari ini aku keluar dari tempat terkutuk ini. Aku berharap, aku takkan pernah lagi datang ke tempat ini.
     Selama 3 hari, aku istirahat di rumah. Karena, merasa bosan, setelah 3 hari beristirahat di rumah, aku akhirnya pergi ke sekolah.
     Sesampainya di sekolah, semua teman-temanku menyapaku riang. Mereka semua ikut senang karena aku sudah sembuh. Aku membalas semua sapaan mereka dengan senyum. Saat sampai di kelas, aku melihat seseorang yang akhir-akhir ini sangat kurindukan. Aku mendekat ke arahnya. Untungnya, dia tidak menyadari kehadiranku.
     “Reina,” panggilku lirih saat sudah sampai tepat di hadapannya. Reina mendongak. Dia langsung membuang muka saat sudah melihatku. Hatiku sakit sekali melihat itu. “Rei, salah gue apa sih sama lo, sampe-sampe lo giniin gue?”
     Hening. Reina belum mengeluarkan sepatah kata pun. Aku pun juga lebih memilih diam seraya menanti jawaban dari mulut Reina. “lo nggak salah apa-apa kok, Sha. Gue yang salah,” akhirnya, suara Reina memecah keheningan.
     “lo nggak salah Rei. Gue pengen banget balik lagi kayak dulu sama lo. Bukannya jauhan kayak gini,” balasku.
     “gue juga pengen, Sha. Tapi, gue nggak mau bikin lo bahaya la..”
     Sebelum ucapan Reina selesai, aku sudah memotongnya duluan. “kalo lo juga pengen, ya udah kita baikan aja? Nggak usah peduliin hal lain! Yang penting kita udah baikan!”
     Dan akhirnya, kami pun berpelukan. Menangis sekaligus tersenyum.
****
     “hei! tungguin gue dong!” kataku berusaha mengejar Reina yang sudah jauh di depanku. Tetapi, dia malah makin mempercepat langkahnya. Sengaja ya tuh anak mau ngerjain gue, gerutuku dalam hati.
     Aku makin mempercepat langkahku menuju sekolahku yang ada di seberang jalan. Kulihat Reina, sedang menyebrangi jalan. Tiba-tiba, dari kejauhan kulihat truk sedang melaju kencang ke arah Reina.
     “Reina, AWAS!!!” sebisa mungkin aku berteriak. Tetapi, aku terlambat. Truk itu sudah menabrak tubuh sahabatku. Seketika, aku tak bisa bernafas. Aku merasa seperti deja vu. Tetapi, kali ini aku bukan berperan sebagai korban. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat tubuh sahabatku terlempar akibat tabrakan truk itu. Kulihat orang-orang mulai menghampiri tubuh Reina yang sudah dibanjiri darah. Aku masih mematung di tempat. Antara percaya dan tidak percaya, kalau peristiwa yang barusan terjadi ini nyata. Aku berusaha menggerakkan kakiku. Tetapi, sepertinya sarafku tidak mau bekerja sama dengan keinginanku. Akhirnya, tubuhku luruh ke tanah. Aku merasa seolah waktu telah berhenti di sini. Aku merasa hidupku bukan lagi hidupku. Apa seperti ini yang dirasakan Reina saat melihatku kecelakaan waktu itu?
     Tiba-tiba, suara mobil ambulance terdengar. Kulihat tubuh Reina digotong ke mobil ambulance. Kepalaku pusing menyaksikan semua ini. Lalu, aku merasa pandanganku mengabur. Lama-kelamaan, semuanya menjadi gelap.
                                                                       ****                                                           
     Aku memegang kepalaku yang terasa sakit. Seolah aku baru saja tertidur. Aku mencoba melihat sekeliling. Ruangan ini. Bau ini. Aku seperti mengenalinya. Oh, bukan mengenalinya, lebih tepatnya membencinya. Ya, Rumah Sakit. Tempat yang sangat aku benci. Ah, kepalaku mulai terasa sakit lagi. Tiba-tiba seorang wanita berpakaian putih, menghampiriku.
     “bagaimana, Dek? Udah merasa baikan?” samar-samar aku mendengar wanita itu berkata seperti itu. Aku hanya membalasnya dengan senyum sambil memegang kepalaku yang masih terasa sakit.
     “kepalanya masih sakit ya? Kalau begitu, minum obat ini dulu Dek,” kata wanita itu sambil menyodorkan obat yang ada di meja disampingku.
     Aku mengambil sebutir kapsul di dalamnya. Lalu, memasukkannya ke mulutku. Wanita itu menyodorkan segelas air putih. Kuambil segelas air putih itu, lalu meminumnya. Kurasakan, obat yang kuminum tadi  mulai memasuki tenggorokanku.
     “Saya tinggal dulu ya Dek,” pamit orang itu. Sekarang, kepalaku tidak terasa pusing lagi. Aku memandangi punggung wanita itu yang berjalan ke arah pintu. Dan, bodohnya, aku baru sadar kalau wanita itu adalah seorang dokter. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
     “Dokter!” panggilku. Dokter itu menoleh ke arahku. Dengan perasaan cemas dan takut, aku berkata, “Reina mana, Dok?”
****
     “REINA!! GUE MOHON LO BANGUN!!” teriakku histeris saat melihat keadaan Reina yang sedang koma.
     Tiba-tiba, tangan Reina bergerak. Aku langsung terdiam melihatnya. “Reina, ayo bangun!” bisikku di telinga Reina.
     Mata Reina akhirnya sepenuhnya terbuka. Dia lalu melepas alat bantu pernapasannya. Aku terkejut melihat itu. “Rei, jangan dibuka!” protesku. Tetapi, Reina hanya tersenyum lemas seolah ia tak punya tenaga lagi.
     “guu..eee cuu..maaa.. maaauu.. ngomong saaa...tuuu haaal sa..maa.. lo,” ucap Reina terputus-putus.
     “Rei, tarik nafas. Baru setelah itu lo ngomong,” perintahku kepada Reina. Reina pun mengikuti saranku. Lalu, dia kembali berbicara, “Sha, terima kasih lo udah mau jadi sahabat gue. Gue bersyukur banget. Sorry, gue bakal ninggalin lo secepat ini. Sekali lagi makasih atas semuanya, Sha. Gue sayang lo,” Ucap Reina. Lalu, dia menutup matanya. Alat pendeteksi jantung Reina pun berbunyi nyaring. Tergambar di sana, sebuah garis lurus.
     Aku langsung teriak histeris. “REINAA!!”
****
     “hai Rei, apa kabar?” kataku di depan sebuah batu nisan bertuliskan ‘Reina Aisyah Silvandra’. “semoga lo tenang-tenang aja ya di sana,” lanjutku sambil tersenyum.
     “sekarang gue udah tamat SMA, Rei. Sesuai janji kita, gue masuk Universitas Indonesia. Inget nggak kalo kita dulu sering menghayal bakal masuk UI bareng-bareng? Terus kita tinggal satu kos? Terus, lulus kuliah bareng-bareng? Habis itu, kita kerja di tempat yang sama! Lo pasti inget kan?” gumamku berusaha ceria. “lo inget nggak kalo kita dulu sering tukeran informasi tentang Conan? Sampe-sampe kita berantem gara-gara nggak membenarkan informasi satu sama lain. Tapi, nggak sampe satu hari kita udah baikan lagi. Hm, apalagi ya? Oh ya, gue sekarang udah punya temen yang banyak lho! Emang sih nggak kayak lo. Tapi, gue berusaha agar gue tetap bahagia. Agar lo tenang di sana. Tapi, satu kelebihan mereka semua, mereka nggak pernah neror gue malem-malem dengan nelpon gue buat dengerin curhatan mereka. Nggak kayak lo yang hobi banget neror gue malem-malem dengan nelpon gue untuk dengerin curhatan lo yang nggak ada habisnya. Hahaha,”
     Aku tertawa kecil. Lalu, aku kembali berbicara, “Rei, sampe sekarang gue masih benci lho sama rumah sakit. Karena, di sana untuk pertama kalinya lo bilang lo bakal ninggalin gue dan di sana tempat nyawa lo di ambil,”
     Aku merasakan air mataku akan menetes. Cepat-cepat aku mencegahnya. “ya udah deh Rei, sebelum gue nangis, seperti biasa gue bakal pergi. Gue nggak mau nangis di hadapan lo. Dada Reina, sampai  ketemu besok,” Lalu aku segera berlari dari makam Reina. Sebelum, air mata ini keluar. Sesampainya di mobil, aku menangis.
     Reina.. Walaupun jiwa lo nggak ada lagi di sisi gue, tapi gue yakin hati lo tetap setia bersama gue. Lo adalah sahabat terbaik yang pernah Allah kirimkan untukku. Lo adalah sahabat terbaik yang pernah gue  miliki.
~The End~

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar